A. Pendahuluan
Upaya pembaharuan pendidikan harus dilakukan secara terus-menerus sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan ekonomi, dan perubahan dalam masyarakat. Khususnya pada pendidikan kejuruan, telah banyak upaya pembaharuan penyelenggaraan pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang dilakukan selama ini. Namun, berdasarkan hasil-hasil kajian, pengamatan, dan penelitian, upaya pembaharuan tersebut banyak menghadapi kendala-kendala di lapangan, yang perlu dicari alternatif pemecahannya.
Pembaharuan pola penyelenggaraan pendidikan di SMK dimulai sejak dilaksanakan Pendidikan Sistem Ganda (PSG) tahun 1994, dan dilengkapi dengan sejumlah perangkat pelaksanaannya. Dalam perkembangan selanjutnnya, pelaksanaan PSG lebih dimantapkan lagi dengan menggunakan acuan yang lebih mendasar yaitu yang tertulis dalam buku “Keterampilan Menjelang 2020 untuk Era Global” yang disusun oleh Satuan Tugas Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan di Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1997). Kemudian, penyelenggaraan PSG dibakukan dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor 323/U/1997 tentang Penyelenggaraan Sistem Ganda pada Sekolah Menengah Kejuruan tanggal 31 Desember 1997, yang memuat komponen-komponen yang diperlukan dalam penyelenggaraan PSG. Inti dari “gerakan” ini adalah upaya untuk mendekatkan pendidikan kejuruan ke dunia usaha/industri.
Dari aspek kurikulum, terjadi perubahan karakteristik dari Kurikulum SMK Tahun 1994 menjadi Kurikulum SMK Edisi 1999. Perbedaan kedua kurikulum tersebut terletak pada: pendekatan, struktur program, periode ajaran, dan evaluasi. Pertama, Kurikulum SMK Tahun 1994 menggunakan pendekatan competency based, sedangkan Kurikulum Edisi 1999 menggunakan pendekatan kombinasi competency based dan broad based. Kedua, struktrur program Kurikulum SMK Tahun 1994 terdiri dari program umum dan program kejuruan, sementara itu Kurikulum SMK Edisi 1999 terdiri dari program normatif, program adaptif, dan program produktif. Ketiga, pembelajaran menurut Kurikulum SMK 1994 disajikan dalam periode catur wulan, sedangkan Kurikulum 1999 disajikan dalam sistem semester. Keempat, evaluasi Kurikulum 1994 dilaksanakan secara parsial, sebaliknya pelaksanaan Kurikulum 1999 akan dievaluasi secara menyeluruh.
Dalam pelaksanaan PSG, kendala dirasakan oleh kedua belah pihak, yaitu sekolah dan industri (Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, 1996). Disebutkan bahwa kendala yang dihadapi oleh sekolah antara lain: (1) keragaman geografis, (2) keragaman kesiapan dan tingkat kemajuan SMK, dan (3) keragaman program SMK yang belum seimbang dengan keragaman industri di sekitarnya. Selanjutnya, kendala yang dirasakan oleh industri antara lain: (1) belum dimiliki struktur jabatan dan keahlian yang mantap, terutama pada industri kecil, dan menengah, (2) belum ada perencanaan alokasi biaya untuk pengembangan pendidikan, (3) belum dimilikinya persepsi tentang keuntungan PSG bagi industri, dan (4) kurangnya kesadaran tentang peningkatan keefektifan, efisiensi, dan kualitas dalam pelaksanaan pelatihan di industri. Sementara itu, menurut hasil penelitian Sonhadji, dkk. (1997), pelaksanaan PSG menghadapi kendala-kendala, antara lain sebagai berikut: (1) pendelegasian tugas dan tanggung jawab di antara perangkat organisasi Pokja PSG belum merata, dan ada kecenderungan dominan pada Ketua Pokja, (2) guru pembimbing belum berfungsi secara optimal di industri, dan diantara mereka ada yang tidak relevan dengan bidangnya, (3) kesulitan menjalin kerjasama dengan institusi pasangan yang tergolong menengah dan besar, (4) rendahnya manajemen pengelolaan pelatihan siswa oleh industri, terutama pada industri kecil, (5) instruktur di industri banyak yang tidak memenuhi persyaratan serta belum berperan secara efektif, (6) masih banyak siswa yang mencari sendiri tempat pelatihan industri, (7) kurangnya waktu yang disediakan Majelis Sekolah untuk berkoordinasi, (8) lamanya pengurusan perijinan dan permohonan pelatihan, (9) kurangnya disiplin dan rendahnya kepedulian siswa terhadap keselematan kerja, dan (10) tidak berimbangnya antara jumlah SMK dan jumlah dunia usaha/industri. Dari temuan-temuan di atas dapat disebutkan bahwa pelaksanaan PSG selama ini mengalami kendala-kendala struktural, geografis, potensi teknologis, psikologis, akademis, manajerial, dan kultural.
B. Konsep PSG
Link and match adalah kebijakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang dikembangkan untuk meningkatkan relevansi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yaitu relevansi dengan kebutuhan pembangunan umumnya dan kebutuhan dunia kerja, dunia usaha serta dunia industri khususnya. Beberapa prinsip yang akan dipakai sebagai strategi dalam kebijakan Link and Match diantaranya adalah model penyelenggaraan Pendidikan Sistem Ganda (PSG).
PSG pada dasarnya merupakan suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian profesional yang memadukan secara sistematik dan sinkron program pendidikan di sekolah dan program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja, terarah untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu. Pada hakekatnya PSG merupakan suatu strategi yang mendekatkan peserta didik ke dunia kerja dan ini adalah strategi proaktif yang menuntut perubahan sikap dan pola pikir serta fungsi pelaku pendidikan di tingkat SMK, masyarakat dan dunia usaha/industri dalam menyikapi perubahan dinamika tersebut.
Bila pada pendidikan konvensional, program pendidikan direncanakan, dilaksanakan dan dievalusi secara sepihak dan lebih bertumpu kepada kepemimpinan kepala sekolah dan guru, maka pada PSG program pendidikan direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi bersama secara terpadu antara sekolah kejuruan dengan institusi pasangannya, sehingga fungsi operasional dilapangan dilaksanakan bersama antara kepala sekolah, guru, instruktur dan manager terkait, untuk itu perlu diciptakan adanya keterpaduan peran dan fungsi guru serta instruktur sebagai pelaku pendidikan yang terlibat langsung dalam pelaksanaa PSG dilapangan secara kondusif.
Menurut Dikmenjur (1994 : 19), kualitas guru tetap memegang peranan kunci, oleh sebab itu program Pendidikan Menengah Kejuruan (SMK) akan dilaksanakan dengan kegiatan pokok peningkatan mutu dan relevansi, diantaranya melalui peningkatan mutu, karena itu program penataran guru akan tetap penting, terutama dalam meningkatkan kemampuan professional guru yang akan dilaksanakan melalui penataran yang memakai pendekatan “ Production Training " serta peningkatan penataran dalam bentuk “ on the job training” di industri.
Hal tersebut menunjukkan, bahwa peranan dan fungsi guru dalam PSG merupakan salah satu parameter terhadap keberhasilan pelaksanaanya sebagaimana dinyatakan Pranarka (1991), bahwa “peran gurulah pelaksana utama di medan pendidikan aktual “. Menurut T. Raka Joni (1991) tugas guru adalah teramat penting, secara makro tugas itu berhubungan dengan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang pada akhirnya akan menentukan kelestarian dan kejayaan kehidupan bangsa karenanya Nana Sujana (1989 : 12) menyatakan, bahwa kehadiran guru dalam Proses Belajar Mengajar (PBM) tetap memegang peranan penting dan belum dapat digantikan oleh alat secanggih apapun. Gambaran oleh pakar pendidikan tersebut dapat dipahami, sebab masih terlalu banyak unsur-unsur manusiawi seperti sikap, system nilai perasaan, motivasi, kebiasaan, kesiapan dan lainnya yang diharapkan merupakan hasil proses pengajaran.
Fenomena tersebut menunjukkan, bahwa dalam suatu proses pendidikan, keprofesionalan sangat diperlukan, lebih tegas Pranarka (1991) menyatakan, bahwa “para guru sebagai perwira- perwira tempur didalam medan pendidikan yang aktual”.
Ini mengisyaratkan bahwa keprofesionalan guru betul-betul diharapkan sebagai pelaksanaan pendidikan dalam proses belajar mengajar sehingga proses dari pendidikan tersebut peserta didik memiliki kesiapan dan kemampuan dalam dunia yang nyata dan ini sejalan dengan tujuan PSG yaitu menghasilkan tenaga kerja yang memiliki keahlian professional, yakni tenaga kerja yang memiliki tingkat pengetahuan, keterampilan dan etos kerja yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja” (Aburizal Bakrie,1996:8).
Dalam upaya merealisasikan kebijakan link and match melalui pelaksanaan PSG, selain diperlukan guru SMK yang profesional serta instruktur yang mewakili dunia usaha / industri yang profesional pula. Instruktur dalam PSG memiliki fungsi dan peranan yang sangat penting dan strategis dalam menentukan keberhasilan peserta PSG. Menurut Slamet PH. (1997) tugas instruktur dalam PSG antara lain adalah memberikan bimbingan, pengarahan, melatih, memotivasi dan menilai peserta PSG, oleh karenanya instruktur dituntut mampu memahami aspek-aspek pendidikan dan pengajaran.
Dari uraian diatas, diketahui bahwa salah satu faktor yang dapat menentukan keberhasilan pelaksanaan PSG adalah guru dan instruktur, oleh sebab itu baik guru maupun instruktur dituntut memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melaksanakan peran dan fungsinya masing-masing dalam PSG, hal ini senada dengan pernyataan T. Raka Joni (1991) bahwa diluar lapisan tenaga propesional untuk bidang-bidang ajaran yang memiliki kandungan keterampilan tinggi, penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar yang efektif dan efisien mempersyaratkan peran serta instruktur.”
Namun demikian kenyataan yang ada menunjukkan, bahwa guru dan instruktur belum sepenuhnya memiliki kemampuan yang dipersyaratkan dalam melaksanakan PSG, sebagaimana dinyatakan Dikmenjur (1997).
Bahwa permasalahan yang dihadapi adalah guru pada saat ini belum memiliki wawasan industri dan tenaga instruktur belum memiliki wawasan kependidikan. Lebih jauh Rusdiono menyebutkan bahwa alasan utama melencengkan pelaksanaan PSG di Indonesia disebabkan oleh belum dipahaminya konsep/pengertian PSG oleh pihak sekolah.
Bertolak dari sejumlah permasalahan, tersebut apabila dicermati ada satu permasalahan yang perlu dikaji lebih mendalam sebab masalah itu dihadapi baik oleh guru maupun instruktur, yakni tentang kemampuan membimbing siswa PSG.
Kemampuan (kompetensi) guru dan instruktur dalam membimbing siswa PSG adalah salah satu tugas dan tanggung jawab mendidik yang paling esensi terutama dalam pelaksanaan PSG. Kemampuan guru dan instruktur dalam membimbing siswa PSG ini banyak dipengaruhi berbagai aspek, seperti pengetahuan, pengalaman, minat, sikap, persepsi, wawasan latar belakang pendidikan dan faktor lingkungan lainnya.
C. Peran Guru dan Instruktur dalam PSG
Menurut Dikmenjur (1997) guru dipandang sebagai ujung tombak yang sangat menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda (PSG), yang secara khusus guru dalam PSG didefinisikan sebagai berikut : “Guru PSG adalah individu yang memiliki kemampuan kompetensi, profesi keguruan atau pendidik secara dominan tetapi juga harus memiliki kompetensi teknis keahlian tertentu dan memiliki jiwa enterpreneurship (Dikmenjur, 1997).
Dalam pelaksanaan PSG guru dipersyaratkan harus memiliki sejumlah kompetensi atau kemampuan dasar yang dibutuhkan untuk melaksanakan keprofesiannya dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai guru PSG, oleh sebab itu Sahertian (1994 : 54) menyatakan bahwa “yang dimaksud profil kompetensi ialah penampilan guru dalam melakukan tugasnya yang memiliki syarat sesuai dengan kriteria kemampuan yang dipersyaratkan”.
Sehubungan dengan kemampuan guru dalam PSG, Dikmenjur (1997) menjelaskan kompetensi profesi guru dalam PSG adalah sebagai berikut : (a) Mampu mengorganisasikan program pembelajaran di SMK yang kondusif, (b) Mampu memberikan inovasi dan motivasi kerja kepada siswa, (c) Mampu menguasai keahlian baik secara teknis maupun secara teoritis, (d) Mampu menguasai emosi sehingga menjadi suri teladan oleh siswa dan kawan seprofesi, (e) Mampu berkomunikasi dan berjiwa enterpreneurship.
Berdasarkan dari sejumlah unsur kompetensi guru dalam PSG seperti tersebut diatas, maka salah satu kemampuan yang diperlukan dari guru dalam melaksanakan program PSG diantaranya adalah “ kemampuan membimbing “ siswa PSG, referensi-referensi yang menekankan pentingnya guru memiliki kemampuan membimbing adalah seperti yang dinyatakan oleh Nana Sujana (1989), bahwa dari sepuluh kompetensi guru menurut PSG Depdiknas guru harus mengenal fungsi layanan bimbingan dan penyuluhan.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa guru harus memiliki kemampuan membimbing dalam kegiatan proses belajar mengajar sehingga pengajaran berlangsung dengan efektif, hal yang sama seperti yang dinyatakan oleh Nolker (1988), Sukamto (1988), Sahertian (1994), Soekartawi dan Sardiman (1997) serta Soedijarto (1997), bahwa salah satu profil seorang guru adalah mempunyai keahlian dalam memberikan bimbingan kepada siswa didiknya.
Instruktur yang diidentikan sebagai pengajar praktik (Nolker, 1998) dan menurut T. Raka Joni (1991) instruktur ialah tenaga pengajar bantu yang bertugas melatih secara intensif keterampilan.
Dalam PSG didefinisikan sebagai berikut : “ instruktur PSG adalah individu yang telah menguasai keahlian / kompetensi tertentu dan telah memiliki kemampuan enterpreneurship, secara dominan tetapi juga dituntut untuk memiliki kompetensi kejuruan (Dikmenjur, 1997)”.
Menurut Nolker (1998 : 173) “ Instruktur memberikan bimbingan ahli bagi peserta didik dalam melakukan pekerjaan latihan serta memberikan petunjuk-petunjuk praktis, sesuai dengan perkembangan teknologi mutakhir. “selanjutnya Nolker (1988) menyebutkan, bahwa instruktur juga menyiapkan pertemuan pengajaran dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip didaktik dan ia juga memberikan nilai terhadap hasil pekerjaan latihan dan berperan serta dalam penyelenggaraan ujian.
Bertolak dari kemampuan guru dan instruktur dalam membimbing siswa PSG, menurut Yusuf Gunawan (1992), dan Sukardi (1995), bahwa membimbing adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis dari pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai kemandirian dalam pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri dan perwujudan dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungan. Winkel (1981), lebih rinci menguraikan bahwa “bimbingan (guidance) mempunyai hubungan dengan guiding : Showing a Way (menunjukkan jalan), conducting (menuntun), giving instruction (memberikan petunjuk), regulating (mengatur) governing (mengarahkan), giving advice (memberikan nasehat)”.
Pada pelaksanaan PSG, guru dan instruktur dalam memberikan bimbingan kepada siswa yang melaksanakan praktik industri, tentunya kegiatan membimbing itu sendiri lebih difokuskan kepada kegiatan memimpin, mengarahkan, menuntun dan memberikan petunjuk atau penjelasan yang secara khusus berhubungan dengan kegiatan PSG, sehingga dengan demikian seluruh potensi yang dimiliki siswa PSG dapat dioptimalkan sedemikian rupa mengarah kepada pencapaian PSG.
Menurut Sukamto (1988) guru bertugas membimbing anak didik mengembangkan rasa tanggung jawab dan disiplin, dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan minat mereka pada tingkat – tingkat usia tertentu, menurut piters yang dikutif Nana Sudjana (1989) tugas dan tanggung jawab guru sebagai pembimbing memberikan tekanan pada tugas (aspek mendidik) dan memberi bantuan kepada siswa dalam memecahkan masalah – masalah yang dihadapinya.
Senada dengan itu Imam Syafe’ie (1992) menyatakan, bahwa guru sebagai pembimbing membantu siswa agar mampu mengarahkan dan menyesuaikan diri pada lingkungan kehidupannya, ini berarti guru hendaknya mampu membantu siswa untuk mengubah dan memecahkan masalah melalui proses hubungan interpersonal.
Selanjutnya Soedijarto (1997) menyebutkan, bahwa bagi para pendidik yang professional harus mampu menggunaka segala pengetahuan baik teori, konsep, definisi, disiplin ilmu, penilaian dan teknologi pendidikan untuk memecahkan masalah kependidikan, terutama dalam tanggung jawabnya membimbing peserta didik mencapai tujuan pendidikan nasional.
Pernyataan di atas menjelaskan salah satu tugas guru dalam Proses Belajar Mengajar (PBM) yang mengandung keterampilan, guru dalam melaksanakan tugasnya tersebut dapat dibantu oleh instruktur seperti yang dinyatakan oleh T Raka Joni (1991), bahwa “ diluar lapisan tenaga professional, untuk bidang-bidang ajaran yang memiliki kandungan yang tinggi, penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar yang efektif dan efisien akan mempersyaratkan peran serta instruktur yang bertugas melatih secara intensif keterampilan”.
Guru dan instruktur dalam melaksanakan tugasnya sebagai pembimbing siswa PSG, selain memiliki kemampuan membimbing, secara umum dalam pelaksanaan program praktik dasar maupun praktik keahlian produktif dituntut memenuhi persyaratan tertentu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Dikmenjur (1997), yaitu : memiliki kepedulian terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan pada SMK, memiliki pengetahuan dan keterampilan memiliki sikap dan etos kerja serta dedikasi yang tinggi terhadap bidang pekerjaan/profesinya, memiliki wawasan dunia kerja, peka terhadap perkembangan IPTEKS, menghargai profesinya maupun profesi lainnya dan interpersonal communication.
Dengan memiliki sejumlah persyaratan seperti diatas, maka baik guru kejuruan maupun instruktur diharapkan mampu melaksanakan tugas pembimbingan terhadap siswa PSG dengan baik, terarah dan efektif. Dikmenjur (1997) menjelaskan tentang ruang lingkup tugas pembimbing PSG, baik pada waktu siswa melakukan praktik dasar kejuruan maupun melaksanakan praktik keahlian pada lini produksi di dunia usaha / industri, yaitu : (1) Menyeleksi calon peserta calon PSG, (2) Mengkondisikan siswa peserta PSG, (2) Melatih dan membimbing secara sistematis pada program praktik dasar dan praktik keahlian produktif pada lini produksi, (3) Menilai secara kontinyu terhadap sikap dan kinerja praktik, (4) Menguji pada waktu ujian kompetensi, (5) Memberikan motivasi kerja dan (6) Memberikan peringatan atau hukuman.
Pemahaman (comprehension) dapat diartikan menguasai sesuatu dengan pikiran, memahami maksudnya dan menangkap maknanya (Sardiman, 1997). Pemahaman memiliki arti sangat mendasar yang meletakkan bagian-bagian belajar pada proporsinya, oleh sebab itu pemahaman tidak sekedar tahu, tetapi juga menghendaki agar subjek belajar dapat memanfaatkan bahan-bahan yang telah dipahaminya. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemahaman merupakan unsur psikologis yang penting dalam proses belajar-mengajar.
Upaya pembaharuan pendidikan harus dilakukan secara terus-menerus sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan ekonomi, dan perubahan dalam masyarakat. Khususnya pada pendidikan kejuruan, telah banyak upaya pembaharuan penyelenggaraan pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang dilakukan selama ini. Namun, berdasarkan hasil-hasil kajian, pengamatan, dan penelitian, upaya pembaharuan tersebut banyak menghadapi kendala-kendala di lapangan, yang perlu dicari alternatif pemecahannya.
Pembaharuan pola penyelenggaraan pendidikan di SMK dimulai sejak dilaksanakan Pendidikan Sistem Ganda (PSG) tahun 1994, dan dilengkapi dengan sejumlah perangkat pelaksanaannya. Dalam perkembangan selanjutnnya, pelaksanaan PSG lebih dimantapkan lagi dengan menggunakan acuan yang lebih mendasar yaitu yang tertulis dalam buku “Keterampilan Menjelang 2020 untuk Era Global” yang disusun oleh Satuan Tugas Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan di Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1997). Kemudian, penyelenggaraan PSG dibakukan dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor 323/U/1997 tentang Penyelenggaraan Sistem Ganda pada Sekolah Menengah Kejuruan tanggal 31 Desember 1997, yang memuat komponen-komponen yang diperlukan dalam penyelenggaraan PSG. Inti dari “gerakan” ini adalah upaya untuk mendekatkan pendidikan kejuruan ke dunia usaha/industri.
Dari aspek kurikulum, terjadi perubahan karakteristik dari Kurikulum SMK Tahun 1994 menjadi Kurikulum SMK Edisi 1999. Perbedaan kedua kurikulum tersebut terletak pada: pendekatan, struktur program, periode ajaran, dan evaluasi. Pertama, Kurikulum SMK Tahun 1994 menggunakan pendekatan competency based, sedangkan Kurikulum Edisi 1999 menggunakan pendekatan kombinasi competency based dan broad based. Kedua, struktrur program Kurikulum SMK Tahun 1994 terdiri dari program umum dan program kejuruan, sementara itu Kurikulum SMK Edisi 1999 terdiri dari program normatif, program adaptif, dan program produktif. Ketiga, pembelajaran menurut Kurikulum SMK 1994 disajikan dalam periode catur wulan, sedangkan Kurikulum 1999 disajikan dalam sistem semester. Keempat, evaluasi Kurikulum 1994 dilaksanakan secara parsial, sebaliknya pelaksanaan Kurikulum 1999 akan dievaluasi secara menyeluruh.
Dalam pelaksanaan PSG, kendala dirasakan oleh kedua belah pihak, yaitu sekolah dan industri (Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, 1996). Disebutkan bahwa kendala yang dihadapi oleh sekolah antara lain: (1) keragaman geografis, (2) keragaman kesiapan dan tingkat kemajuan SMK, dan (3) keragaman program SMK yang belum seimbang dengan keragaman industri di sekitarnya. Selanjutnya, kendala yang dirasakan oleh industri antara lain: (1) belum dimiliki struktur jabatan dan keahlian yang mantap, terutama pada industri kecil, dan menengah, (2) belum ada perencanaan alokasi biaya untuk pengembangan pendidikan, (3) belum dimilikinya persepsi tentang keuntungan PSG bagi industri, dan (4) kurangnya kesadaran tentang peningkatan keefektifan, efisiensi, dan kualitas dalam pelaksanaan pelatihan di industri. Sementara itu, menurut hasil penelitian Sonhadji, dkk. (1997), pelaksanaan PSG menghadapi kendala-kendala, antara lain sebagai berikut: (1) pendelegasian tugas dan tanggung jawab di antara perangkat organisasi Pokja PSG belum merata, dan ada kecenderungan dominan pada Ketua Pokja, (2) guru pembimbing belum berfungsi secara optimal di industri, dan diantara mereka ada yang tidak relevan dengan bidangnya, (3) kesulitan menjalin kerjasama dengan institusi pasangan yang tergolong menengah dan besar, (4) rendahnya manajemen pengelolaan pelatihan siswa oleh industri, terutama pada industri kecil, (5) instruktur di industri banyak yang tidak memenuhi persyaratan serta belum berperan secara efektif, (6) masih banyak siswa yang mencari sendiri tempat pelatihan industri, (7) kurangnya waktu yang disediakan Majelis Sekolah untuk berkoordinasi, (8) lamanya pengurusan perijinan dan permohonan pelatihan, (9) kurangnya disiplin dan rendahnya kepedulian siswa terhadap keselematan kerja, dan (10) tidak berimbangnya antara jumlah SMK dan jumlah dunia usaha/industri. Dari temuan-temuan di atas dapat disebutkan bahwa pelaksanaan PSG selama ini mengalami kendala-kendala struktural, geografis, potensi teknologis, psikologis, akademis, manajerial, dan kultural.
B. Konsep PSG
Link and match adalah kebijakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang dikembangkan untuk meningkatkan relevansi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yaitu relevansi dengan kebutuhan pembangunan umumnya dan kebutuhan dunia kerja, dunia usaha serta dunia industri khususnya. Beberapa prinsip yang akan dipakai sebagai strategi dalam kebijakan Link and Match diantaranya adalah model penyelenggaraan Pendidikan Sistem Ganda (PSG).
PSG pada dasarnya merupakan suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian profesional yang memadukan secara sistematik dan sinkron program pendidikan di sekolah dan program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja, terarah untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu. Pada hakekatnya PSG merupakan suatu strategi yang mendekatkan peserta didik ke dunia kerja dan ini adalah strategi proaktif yang menuntut perubahan sikap dan pola pikir serta fungsi pelaku pendidikan di tingkat SMK, masyarakat dan dunia usaha/industri dalam menyikapi perubahan dinamika tersebut.
Bila pada pendidikan konvensional, program pendidikan direncanakan, dilaksanakan dan dievalusi secara sepihak dan lebih bertumpu kepada kepemimpinan kepala sekolah dan guru, maka pada PSG program pendidikan direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi bersama secara terpadu antara sekolah kejuruan dengan institusi pasangannya, sehingga fungsi operasional dilapangan dilaksanakan bersama antara kepala sekolah, guru, instruktur dan manager terkait, untuk itu perlu diciptakan adanya keterpaduan peran dan fungsi guru serta instruktur sebagai pelaku pendidikan yang terlibat langsung dalam pelaksanaa PSG dilapangan secara kondusif.
Menurut Dikmenjur (1994 : 19), kualitas guru tetap memegang peranan kunci, oleh sebab itu program Pendidikan Menengah Kejuruan (SMK) akan dilaksanakan dengan kegiatan pokok peningkatan mutu dan relevansi, diantaranya melalui peningkatan mutu, karena itu program penataran guru akan tetap penting, terutama dalam meningkatkan kemampuan professional guru yang akan dilaksanakan melalui penataran yang memakai pendekatan “ Production Training " serta peningkatan penataran dalam bentuk “ on the job training” di industri.
Hal tersebut menunjukkan, bahwa peranan dan fungsi guru dalam PSG merupakan salah satu parameter terhadap keberhasilan pelaksanaanya sebagaimana dinyatakan Pranarka (1991), bahwa “peran gurulah pelaksana utama di medan pendidikan aktual “. Menurut T. Raka Joni (1991) tugas guru adalah teramat penting, secara makro tugas itu berhubungan dengan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang pada akhirnya akan menentukan kelestarian dan kejayaan kehidupan bangsa karenanya Nana Sujana (1989 : 12) menyatakan, bahwa kehadiran guru dalam Proses Belajar Mengajar (PBM) tetap memegang peranan penting dan belum dapat digantikan oleh alat secanggih apapun. Gambaran oleh pakar pendidikan tersebut dapat dipahami, sebab masih terlalu banyak unsur-unsur manusiawi seperti sikap, system nilai perasaan, motivasi, kebiasaan, kesiapan dan lainnya yang diharapkan merupakan hasil proses pengajaran.
Fenomena tersebut menunjukkan, bahwa dalam suatu proses pendidikan, keprofesionalan sangat diperlukan, lebih tegas Pranarka (1991) menyatakan, bahwa “para guru sebagai perwira- perwira tempur didalam medan pendidikan yang aktual”.
Ini mengisyaratkan bahwa keprofesionalan guru betul-betul diharapkan sebagai pelaksanaan pendidikan dalam proses belajar mengajar sehingga proses dari pendidikan tersebut peserta didik memiliki kesiapan dan kemampuan dalam dunia yang nyata dan ini sejalan dengan tujuan PSG yaitu menghasilkan tenaga kerja yang memiliki keahlian professional, yakni tenaga kerja yang memiliki tingkat pengetahuan, keterampilan dan etos kerja yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja” (Aburizal Bakrie,1996:8).
Dalam upaya merealisasikan kebijakan link and match melalui pelaksanaan PSG, selain diperlukan guru SMK yang profesional serta instruktur yang mewakili dunia usaha / industri yang profesional pula. Instruktur dalam PSG memiliki fungsi dan peranan yang sangat penting dan strategis dalam menentukan keberhasilan peserta PSG. Menurut Slamet PH. (1997) tugas instruktur dalam PSG antara lain adalah memberikan bimbingan, pengarahan, melatih, memotivasi dan menilai peserta PSG, oleh karenanya instruktur dituntut mampu memahami aspek-aspek pendidikan dan pengajaran.
Dari uraian diatas, diketahui bahwa salah satu faktor yang dapat menentukan keberhasilan pelaksanaan PSG adalah guru dan instruktur, oleh sebab itu baik guru maupun instruktur dituntut memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melaksanakan peran dan fungsinya masing-masing dalam PSG, hal ini senada dengan pernyataan T. Raka Joni (1991) bahwa diluar lapisan tenaga propesional untuk bidang-bidang ajaran yang memiliki kandungan keterampilan tinggi, penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar yang efektif dan efisien mempersyaratkan peran serta instruktur.”
Namun demikian kenyataan yang ada menunjukkan, bahwa guru dan instruktur belum sepenuhnya memiliki kemampuan yang dipersyaratkan dalam melaksanakan PSG, sebagaimana dinyatakan Dikmenjur (1997).
Bahwa permasalahan yang dihadapi adalah guru pada saat ini belum memiliki wawasan industri dan tenaga instruktur belum memiliki wawasan kependidikan. Lebih jauh Rusdiono menyebutkan bahwa alasan utama melencengkan pelaksanaan PSG di Indonesia disebabkan oleh belum dipahaminya konsep/pengertian PSG oleh pihak sekolah.
Bertolak dari sejumlah permasalahan, tersebut apabila dicermati ada satu permasalahan yang perlu dikaji lebih mendalam sebab masalah itu dihadapi baik oleh guru maupun instruktur, yakni tentang kemampuan membimbing siswa PSG.
Kemampuan (kompetensi) guru dan instruktur dalam membimbing siswa PSG adalah salah satu tugas dan tanggung jawab mendidik yang paling esensi terutama dalam pelaksanaan PSG. Kemampuan guru dan instruktur dalam membimbing siswa PSG ini banyak dipengaruhi berbagai aspek, seperti pengetahuan, pengalaman, minat, sikap, persepsi, wawasan latar belakang pendidikan dan faktor lingkungan lainnya.
C. Peran Guru dan Instruktur dalam PSG
Menurut Dikmenjur (1997) guru dipandang sebagai ujung tombak yang sangat menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda (PSG), yang secara khusus guru dalam PSG didefinisikan sebagai berikut : “Guru PSG adalah individu yang memiliki kemampuan kompetensi, profesi keguruan atau pendidik secara dominan tetapi juga harus memiliki kompetensi teknis keahlian tertentu dan memiliki jiwa enterpreneurship (Dikmenjur, 1997).
Dalam pelaksanaan PSG guru dipersyaratkan harus memiliki sejumlah kompetensi atau kemampuan dasar yang dibutuhkan untuk melaksanakan keprofesiannya dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai guru PSG, oleh sebab itu Sahertian (1994 : 54) menyatakan bahwa “yang dimaksud profil kompetensi ialah penampilan guru dalam melakukan tugasnya yang memiliki syarat sesuai dengan kriteria kemampuan yang dipersyaratkan”.
Sehubungan dengan kemampuan guru dalam PSG, Dikmenjur (1997) menjelaskan kompetensi profesi guru dalam PSG adalah sebagai berikut : (a) Mampu mengorganisasikan program pembelajaran di SMK yang kondusif, (b) Mampu memberikan inovasi dan motivasi kerja kepada siswa, (c) Mampu menguasai keahlian baik secara teknis maupun secara teoritis, (d) Mampu menguasai emosi sehingga menjadi suri teladan oleh siswa dan kawan seprofesi, (e) Mampu berkomunikasi dan berjiwa enterpreneurship.
Berdasarkan dari sejumlah unsur kompetensi guru dalam PSG seperti tersebut diatas, maka salah satu kemampuan yang diperlukan dari guru dalam melaksanakan program PSG diantaranya adalah “ kemampuan membimbing “ siswa PSG, referensi-referensi yang menekankan pentingnya guru memiliki kemampuan membimbing adalah seperti yang dinyatakan oleh Nana Sujana (1989), bahwa dari sepuluh kompetensi guru menurut PSG Depdiknas guru harus mengenal fungsi layanan bimbingan dan penyuluhan.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa guru harus memiliki kemampuan membimbing dalam kegiatan proses belajar mengajar sehingga pengajaran berlangsung dengan efektif, hal yang sama seperti yang dinyatakan oleh Nolker (1988), Sukamto (1988), Sahertian (1994), Soekartawi dan Sardiman (1997) serta Soedijarto (1997), bahwa salah satu profil seorang guru adalah mempunyai keahlian dalam memberikan bimbingan kepada siswa didiknya.
Instruktur yang diidentikan sebagai pengajar praktik (Nolker, 1998) dan menurut T. Raka Joni (1991) instruktur ialah tenaga pengajar bantu yang bertugas melatih secara intensif keterampilan.
Dalam PSG didefinisikan sebagai berikut : “ instruktur PSG adalah individu yang telah menguasai keahlian / kompetensi tertentu dan telah memiliki kemampuan enterpreneurship, secara dominan tetapi juga dituntut untuk memiliki kompetensi kejuruan (Dikmenjur, 1997)”.
Menurut Nolker (1998 : 173) “ Instruktur memberikan bimbingan ahli bagi peserta didik dalam melakukan pekerjaan latihan serta memberikan petunjuk-petunjuk praktis, sesuai dengan perkembangan teknologi mutakhir. “selanjutnya Nolker (1988) menyebutkan, bahwa instruktur juga menyiapkan pertemuan pengajaran dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip didaktik dan ia juga memberikan nilai terhadap hasil pekerjaan latihan dan berperan serta dalam penyelenggaraan ujian.
Bertolak dari kemampuan guru dan instruktur dalam membimbing siswa PSG, menurut Yusuf Gunawan (1992), dan Sukardi (1995), bahwa membimbing adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis dari pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai kemandirian dalam pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri dan perwujudan dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungan. Winkel (1981), lebih rinci menguraikan bahwa “bimbingan (guidance) mempunyai hubungan dengan guiding : Showing a Way (menunjukkan jalan), conducting (menuntun), giving instruction (memberikan petunjuk), regulating (mengatur) governing (mengarahkan), giving advice (memberikan nasehat)”.
Pada pelaksanaan PSG, guru dan instruktur dalam memberikan bimbingan kepada siswa yang melaksanakan praktik industri, tentunya kegiatan membimbing itu sendiri lebih difokuskan kepada kegiatan memimpin, mengarahkan, menuntun dan memberikan petunjuk atau penjelasan yang secara khusus berhubungan dengan kegiatan PSG, sehingga dengan demikian seluruh potensi yang dimiliki siswa PSG dapat dioptimalkan sedemikian rupa mengarah kepada pencapaian PSG.
Menurut Sukamto (1988) guru bertugas membimbing anak didik mengembangkan rasa tanggung jawab dan disiplin, dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan minat mereka pada tingkat – tingkat usia tertentu, menurut piters yang dikutif Nana Sudjana (1989) tugas dan tanggung jawab guru sebagai pembimbing memberikan tekanan pada tugas (aspek mendidik) dan memberi bantuan kepada siswa dalam memecahkan masalah – masalah yang dihadapinya.
Senada dengan itu Imam Syafe’ie (1992) menyatakan, bahwa guru sebagai pembimbing membantu siswa agar mampu mengarahkan dan menyesuaikan diri pada lingkungan kehidupannya, ini berarti guru hendaknya mampu membantu siswa untuk mengubah dan memecahkan masalah melalui proses hubungan interpersonal.
Selanjutnya Soedijarto (1997) menyebutkan, bahwa bagi para pendidik yang professional harus mampu menggunaka segala pengetahuan baik teori, konsep, definisi, disiplin ilmu, penilaian dan teknologi pendidikan untuk memecahkan masalah kependidikan, terutama dalam tanggung jawabnya membimbing peserta didik mencapai tujuan pendidikan nasional.
Pernyataan di atas menjelaskan salah satu tugas guru dalam Proses Belajar Mengajar (PBM) yang mengandung keterampilan, guru dalam melaksanakan tugasnya tersebut dapat dibantu oleh instruktur seperti yang dinyatakan oleh T Raka Joni (1991), bahwa “ diluar lapisan tenaga professional, untuk bidang-bidang ajaran yang memiliki kandungan yang tinggi, penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar yang efektif dan efisien akan mempersyaratkan peran serta instruktur yang bertugas melatih secara intensif keterampilan”.
Guru dan instruktur dalam melaksanakan tugasnya sebagai pembimbing siswa PSG, selain memiliki kemampuan membimbing, secara umum dalam pelaksanaan program praktik dasar maupun praktik keahlian produktif dituntut memenuhi persyaratan tertentu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Dikmenjur (1997), yaitu : memiliki kepedulian terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan pada SMK, memiliki pengetahuan dan keterampilan memiliki sikap dan etos kerja serta dedikasi yang tinggi terhadap bidang pekerjaan/profesinya, memiliki wawasan dunia kerja, peka terhadap perkembangan IPTEKS, menghargai profesinya maupun profesi lainnya dan interpersonal communication.
Dengan memiliki sejumlah persyaratan seperti diatas, maka baik guru kejuruan maupun instruktur diharapkan mampu melaksanakan tugas pembimbingan terhadap siswa PSG dengan baik, terarah dan efektif. Dikmenjur (1997) menjelaskan tentang ruang lingkup tugas pembimbing PSG, baik pada waktu siswa melakukan praktik dasar kejuruan maupun melaksanakan praktik keahlian pada lini produksi di dunia usaha / industri, yaitu : (1) Menyeleksi calon peserta calon PSG, (2) Mengkondisikan siswa peserta PSG, (2) Melatih dan membimbing secara sistematis pada program praktik dasar dan praktik keahlian produktif pada lini produksi, (3) Menilai secara kontinyu terhadap sikap dan kinerja praktik, (4) Menguji pada waktu ujian kompetensi, (5) Memberikan motivasi kerja dan (6) Memberikan peringatan atau hukuman.
Pemahaman (comprehension) dapat diartikan menguasai sesuatu dengan pikiran, memahami maksudnya dan menangkap maknanya (Sardiman, 1997). Pemahaman memiliki arti sangat mendasar yang meletakkan bagian-bagian belajar pada proporsinya, oleh sebab itu pemahaman tidak sekedar tahu, tetapi juga menghendaki agar subjek belajar dapat memanfaatkan bahan-bahan yang telah dipahaminya. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemahaman merupakan unsur psikologis yang penting dalam proses belajar-mengajar.
Sumber:
- Direkturat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, 2009, Bahan bimbingan teknis (Bimtek) Peningkatan Mutu SMK ” Pelaksanaan Prakerin”, Jakarta
- http://sugihartono1.wordpress.com/2009/11/04/pendidikan-sistem-ganda/
- http://www.depdiknas.go.id/sikep/Issue/SENTRA1/F40.html, Ahmad Sonhadji K.H., Alternatif Penyempurnaan Pembaharuan Penyelenggaraan Pendidikan Di Sekolah Menengah Kejuruan
- http://galihsasongko.blogspot.com/2009_03_01_archive.html
- http://pkk.upi.edu/invotec_33-39.pdf., Tatang Permana, Pemahaman Konsep PSG Dan Intensitas Bimbingan Terhadap Kemampuan Membimbing Siswa PSG
0 comment:
Posting Komentar