FC Barcelona
Talipati_ : "Whatever you give to life, it gives you back. Do not hate anybody. The harted which comes out from you will someday comeback to you. Love others. And love will comeback to you . . ."

Minggu, 08 Mei 2011

Merasa Benar Dan Merasakan Kebenaran..

Dalam perjalanan pulang setelah sekian lama gak ketemu orang tua, pulang kali ini pun terpaksa dan cukup memaksa, karena keadaan dan posisi hierarkhi sebagai anak kepada orang tua yang dalam kesulitan. Tapi kalau pun bukan orang tua pun seharusnya aku tetap datang karena tanggung jawab sebagai makhluk yang sama-sama ingin merasakan kebahagiaan. Ah… tapi itu terlalu naif mikir terlalu sentimentil dan sok pahlawan. Kalo orang mau melakukan hal yang gak worthed ato gak berhubungan sama kehidupan kita ngapain capek-capek berkorban…? Begitulah seharusnya kita berpikir atau itu merupakan pikiran yang salah?

Susah berpikiran benar dalam arti yang sebenarnya, karena yah itu tadi kebenaran sekarang kan berdasarkan kesepakatan dan kebiasaan, sesuatu yang baik kalo gak biasa ya dibilang salah dan malah dikucilkan, tapi sebaliknya yang salah kalo dah biasa malah dibudayakan. Apa hal itu juga bisa dibilang salah? Kalo diamati, memang setiap makhluk termasuk setan pun pengen hidup bahagia, tapi kadang kita gak menyadari kalo kita terlalu ingin membahagiakan diri sendiri, yang lebih tepatnya ke arah nafsu dan keinginan pribadi. Seorang bijak berkata kepadaku : “Walopun tiap orang diberi satu gunung emas pun masih belum cukup”. Sepintas mikir juga, “masak sih satu gunung masih belum cukup?”. Tapi berdasarkan pengamatan dan pengalaman hal itu bisa dibuktikan dengan persamaan berikut : Kebutuhan anak SD beda dengan kebutuhan Mahasiswa. Kalo kita inget dulu sewaktu SD kita liat anak SMP kita pengen cepet SMP, tapi setelah masuk SMP liat anak SMA, terjadi begitu lagi, begitu seterusnya sampai akhirnya telah memiliki pekerjaan tetap yang padahal juga lebih untung dibanding yang lain.

Contoh lain, dengan variabel yang sama yaitu manusia, tapi dengan konstanta atau titik awal yang berbeda yaitu harta, kekayaan, derajat, dan kepemilikan yang lainnya, jika diberi input yang sama maka akan menghasilkan output respon yang berbeda. Contoh tukang becak sama Dokter. Bagi tukang becak karena status sosial yang rendah dan tiap rupiah adalah sangat berharga bagi beliau, maka mereka tidak akan berpikir tentang derajat, kedudukan, pengakuan yang berlebih karena bagi mereka yang penting hidup gak kelaparan sudah cukup. Mungkin suatu saat beliau-beliau akan bermimpi setingkat lebih tinggi dari kemampuan mereka: “Seandainya aku bisa menang lotere atau nemu gunung emas pasti hidupku akan berkecukupan dan pasti bahagia…”. Itu pikiran yang wajar bagi mereka karena belum merasakan kemewahan dan teknologi yang begitu banyak, apakah benar dengan menyimpan uang yang banyak mereka cuman akan memakainya seperti kebutuhan sebagai tukang becak? Ingat variabel yang kita pakai adalah manusia yang tidak terbebas dari keinginan dan nafsu.

Berbeda bagi kehidupan seorang dokter, yang bersaing dengan dokter lain dan memiliki status atau bisa dibilang kasta yang lebih terhormat dari tukang becak. Simbol-simbol kehidupan mungkin sangat berpengaruh sehingga standar-standar tertentu harus dipenuhi dengan penghasilan yang dia dapat pada waktu yang sama dengan penghasilan tukang becak tadi. Yang dipikirkan seorang dokter pada waktu t=0 pasti akan jauh lebih banyak daripada tukang becak disamping tugasnya sebagai seorang dokter. Kredibilitas dokter mungkin akan tampak dari penampilan luar seperti gelar,tempat praktek, mobil, rumah, dsb. Berbeda dengan Pak becak dimana kejujuran dan semangat yang menjadi parameternya karena itu harta yang mereka punya. Yah bukannya berarti tukang becak lebih baik daripada dokter dan sebaliknya, sekali lagi parameter variabel yang digunakan adalah manusia yang tak bebas dari nafsu dan keinginan.

Sekarang kita asumsikan sang dokter kita beri input yang sama dengan tukang becak tadi diberi gunung emas, dengan penghasilan demikian pikiran yang sama pasti akan terjadi, cukup dan bahagia…

Berapakah batas ukuran materi untuk memuaskan nafsu dan keinginan manusia?

Kembali ke perjalanan dari Kalimantan ke kampung, aku inget saat-saat ketemu orang-orang sepanjang hidup. Kenapa ada orang yang tidak mau disalahkan meskipun dia salah, apakah itu bentuk naluri bertahan, upaya mencapai kebahagiaan, tapi apakah benar mereka yang seperti itu merasakan kebahagiaan, ato hanya kepuasan nafsu sesaat? Mengapa ada orang yang tidak bersalah, selalu disalahkan karena dia bukan orang yang berkuasa, tapi mereka tetap senyum dan bahagia? Apa mereka bodoh atau sudah putus asa?

Bagaimanakah cara mencapai kebahagiaan tanpa kegelisahan?

Kasus-kasus serupa selalu melintas di sepanjang perjalanan, mengenai kegelisahan dan kekhawatiran. Tiba-tiba ada pemikiran spontan yang intinya mengambil kesimpulan dari kasus-kasus itu tadi, aku juga ga tau tuh pikiran dateng dari mana, tapi itu cukup made me smile dan berhenti gelisah :

Merasa benar…dan merasakan kebenaran…

Meskipun aku belum mengerti benar tentang pernyataan itu tapi entah kenapa kok aku merasa aku harus memahami satu kalimat tersebut. Perlahan aku belajar dari orang-orang yang bijak tentang kebenaran tanpa pembenaran, yang terbebas dari unsur nafsu dan ego. Sangat sulit jika diterapkan dalam kehidupan sosial sekarang… tapi cukup diterapkan pada diri sendiri tanpa menuntut orang lain harus melakukannya. Karena kalo harus memaksa orang melakukannya sama seperti membengkokan besi dengan telunjuk.

Yaah, harapanku..
Semoga semua makhluk tidak hanya merasa benar…
Semoga semua makhluk dapat merasakan kebenaran…
Semoga semua makhluk merasakan bahagia…


Facebook Comments : "Silahkan berikan komentar Anda mengenai tulisan saya pada kotak komentar di bawah ini . . ."

0 comment:

Posting Komentar